Pino In Memoriam
10 Januari 2015. Satu hari persis sebelum tanggal ramai
kondangan di Yogyakarta gara-gara tanggalnya dibawa kondang dalam lagunya band Gigi.
Bosku mengirimi pesan di grup WhatsApp, mengabari bahwa Pino
jatuh sekarat. Waktu membaca pesan itu, aku langsung bingung membayangkan “sekarat”-nya
itu seperti apa. Hanya berselang kurang lebih satu jam, datang lagi pesan. Pino
sudah mati.
Aku pernah menjalani hidup di rumah yang selalu disambangi
kucing yang kemudian jadi peliharaan. Bertahun-tahun. Aku pernah juga menulis tentang kucing-kucing itu di sini. Namun, sejak aku berangkat merantau kuliah,
aku sudah jarang mengurus kucing dan menikmati waktu dengan membelai-belainya
di pangkuan.
Nah, pertama
kalinya aku datang ke tempat kerjaku, aku merasa begitu bersemangat gara-gara
sebuah kandang kucing berisi seekor induk dan lima anaknya. Aku akan segera
berinteraksi dengan kucing lagi, begitu pikirku.
Hari itulah
pertama kalinya aku bertemu Pino. Tentu saja ia belum bernama kala itu.
Tubuhnya masih kecil, berdiri masih goyah, digendong masih menjerit-jerit
takut, dan masih menyusu. Ia adalah satu-satunya dari antara lima ekor anak
kucing yang lahir seangkatan dengannya yang bertahan di rumah kantor itu.
Warnanya hitam dan putih. Warna bapaknya, bapak dari sekian banyak adik-adiknya
yang juga lahir dari induknya setelahnya. Ada coreng hitam kecil di dekat
mulutnya. Bikin ia terlihat seperti laki-laki berkumis.
Pino tumbuh jadi kucing yang cantik sekali. Menjelang
dewasa, ketahuanlah tingkah anehnya. Pino doyan sekali minum air. Tempat minumnya
tak bisa kosong barang sebentar. Ia akan membuntuti siapa pun yang membawa
tempat minumnya. Mengekor sambil mengeong keras-keras minta wadah air itu
dikembalikan segera. Ia juga melakukan hal yang sama tiap kali mendengar bunyi
air mengucur dari keran wastafel dapur. Ia mengeong minta air lagi, dan lagi,
dan lagi.
Tak hanya itu, Pino kemudian menjadi benar-benar maniak air.
Ia sering sekali menyelinap masuk kamar mandi hanya untuk minum dari ember
padahal wadah air minumnya pun terisi penuh. Sejak itu, seisi kantor selalu
rajin menutup pintu kamar mandi agar Pino tidak terus-terusan mencuri
kesempatan masuk. Tapi, ia benar-benar gigih. Sudah berapa kali aku pipis
sambil ditunggui Pino di depan pintu. Oh, bukan di depan pintu ding, persisnya Pino melongokkan
kepalanya ke celah kecil di kusen pintu kamar mandi. Mengeong. Lagi-lagi
gara-gara mendengar suara air.
Pino pun tidak terlalu rajin makan. Ia tidak terlalu
semangat menyambut suara biskuit makanan kucing dituangkan ke wadah makanannya.
Ia jauh lebih beringas kalau melihat wadah air minumnya diisi. Suatu kali
ketika kantor akan kosong selama kurang lebih tiga hari, kami harus menyiapkan
air minum buat Pino sebanyak mungkin. Sampai dua wadah besar sekaligus. Jangan
sampai Pino kehausan. Rasanya sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan. Kami
terima saja, Pino memang gila akan air. Setidaknya, ia terhindar dari risiko sakit
ginjal.
Waktu masa berahi pertamanya tiba, bosku langsung memutuskan
untuk mengawinkannya di klinik dokter hewan. Ya, di klinik, soalnya kucing
tidak perlu sama agamanya untuk kawin secara sah. Tujuannya cuma satu, biar
Pino tidak dikawini kucing jantan kompleks perumahan yang sekaligus adalah
bapaknya. Kalau dikawini oleh jantan satu itu, anaknya pasti sama saja bentuknya
dengannya dan saudara-saudaranya. Inginnya, ada varian warna lain selain hitam
dan putih untuk generasi anak kucing selanjutnya. Semua bersemangat menantikan
Pino bunting. Jadi induk kedua setelah Rudi, yang ternyata malah jadi
satu-satunya induk sejauh ini. Pino tak kunjung bunting.
Kamis lalu, seorang bocah perumahan bersepeda ke rumah
kantor kami. Ia mengabarkan bahwa Pino sepertinya tertabrak kendaraan dan
sedang tergeletak berlumur darah. Aku dan bosku berangkat menjemput Pino. Si
cantik itu sedang berbaring di rerumputan dekat lampu jalan perumahan. Separuh tubuhnya
tampak bekas basah kecokelatan. Seperti darah. Ia mengeong-ngeong keras sekali.
Ketika dipegang, makin keras jeritannya. Aku lalu mengambilkan keranjang Pino
supaya bisa dibawa ke klinik. Pino menjerit-jerit ketika mau diangkat. Mungkin
ia bingung, pasti tubuhnya rasanya sakit sekali. Tapi, jika tak diangkat ia tak
akan dapat pertolongan. Akhirnya bosku menguatkan hati untuk menggendong Pino
masuk ke dalam keranjang. Sepanjang perjalanan ke klinik yang tidak jauh itu,
Pino sudah lebih tenang. Mungkin tahu ia sudah ada di tangan yang aman dan akan
segera ditolong.
Setibanya di klinik, kami pun tidak bisa menjelaskan
apa-apa. Entah karena apa Pino jadi
begitu. Mungkin tertabrak, mungkin juga lainnya. Yang jelas Pino tidak bisa
berdiri karena kesakitan dan darahnya tampaknya keluar dari anus. Pino
diinapkan di sana untuk dapat perawatan. Esoknya, diagnosa dokter mengatakan
mungkin Pino kena virus. Tapi, rasanya tidak demikian. Kami sempat menduga Pino
sedang bunting dan keguguran karena sesuatu, mungkin tertabrak.
Ternyata, hingga
saat ini kami tetap tidak tahu apa yang menyebabkan Pino kesakitan kala itu.
Pino tidak kuat lagi. Sakitnya pasti betul-betul. Pino dibawa pulang dari
klinik kedua dalam keadaan tak bernyawa. Pino dikuburkan di halaman rumput
rumah kantor kami.
Pino adalah kucing favoritku di kantor. Kucing-kucing di
kantorku itu memang bukan tipe kucing yang senang menghampiri manusia untuk
sekadar minta dipangku atau dielus. Mereka biasanya tidak betah berlama-lama
dalam gendongan. Tapi, Pino agak sedikit berbeda. Istilahnya bosku, Pino itu
kucing yang sopan. Jika aku menggendong Pino, ia tidak akan berontak menolak.
Pino pasti sabar menunggu aku puas memeluknya dan membelai-belainya di pangkuan
buat hiburan di sela-sela bekerja. Ia akan menunggu aku mengendurkan
gendonganku, lalu melompat turun dengan lembut. Mungkin Pino mau bikin
manusianya puas dulu, biar tidak kecewa karena sudah menggendong.
Ah, kucing cantik. Pino benar-benar cantik. Suaranya itu
tidak parau, melainkan cempreng lembut (piye
kuwi cempreng lembut, hahaha). Ia jarang sekali marah. Jika meminta air
minum pun, ia akan mengeong manja (tapi tetap keras-keras) sambil ngelendot manja pula ke kaki manusia
yang mau memberinya minum. Pino mewarisi perilaku induknya, tidak suka berebut
makanan. Ah, Pino baik bangetlah pokoknya.
Selamat jalan, Pino. Jangan lupa bagi-bagi air minum sama
kucing lainnya di sana.
We love you so fucking
much. :*
To infinity and beyond |
Komentar
Posting Komentar