Akreditasi : Ironi Antara Tujuan dan Pelaksanaan
Telah diketahui secara luas, akreditasi merupakan salah satu kriteria yang patut dipertimbagkan dalam memilih sebuah lembaga pendidikan. Secara khusus, perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menggantungkan kelangsunganya pada status akreditasi. Tanpa akreditasi yang memuaskan, perguruan tinggi harus siap-siap gulug tikar karena kekurangan mahasiswa. Mau tak mau, harus ditempuhlah sebuah usaha untuk tetap mempertahankan eksistensi.
Akreditasi perguruan tinggi adalah penilaian kelayakan program studi dan/atau satuan pendidikan tinggi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan untuk jaminan mutu kepada masyarakat. Pernyataan tersebut merupakan definisi akreditasi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2005. Termuat pula dalam peraturan tersebut bahwa akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang beranggotakan ahli-ahli evaluasi pendidikan, kurikulum pendidikan tinggi, manajemen perguruan tinggi, dan perwakilan unsur masyarakat pendidik yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan. Penilaian akreditasi diarahkan pada tujuan ganda, yaitu menginformasikan kinerja perguruan tinggi kepada masyarakat dan mengemukakan langkah pembinaan yang perlu ditempuh oleh perguruan tinggi dan pemerintah, serta partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, akreditasi perguruan tinggi memang diselenggarakan dengan tujuan yang mulia. Hasil akreditasi perguruan tinggi dapat menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih dan memutuskan untuk bergabung dengan perguruan tinggi yang sesuai. Selama ini hasil akreditasi memang memegang peranan penting dalam kelangsungan perguruan tinggi. Sebagian besar perguruan tinggi dikenal dengan program studi (prodi) andalannya yang terakreditasi dengan hasil yang memuaskan. Prodi-prodi tersebut biasanya dibanjiri ribuan peminat atau calon mahasiswa yang harus bersaing ketat, saling mengungguli yang lain untuk dapat menjadi bagian dari prodi unggulan tersebut. Sementara itu, prodi-prodi yang belum terakreditasi dengan hasil yang baik selalu kelabakan mempertahankan izin penyelenggaraannya dengan jumlah mahasiswa yang sangat minim.
Akreditasi memang salah satu jalan untuk mengetahui kualitas pendidikan sebuah prodi dalam perguruan tinggi. Dengan proses audit yang dilaksanakan oleh BAN-PT, masyarakat dapat menilai kelayakan sebuah perguruan tinggi. Adapun kriteria yang dijadikan dasar penilaian program studi dalam proses audit tersebut terdiri atas beberapa poin di antaranya kesesuaian penyelenggaraan prodi denga peraturan perundang-undangan, sarana dan prasarana, efisiensi penyelenggaraan prodi, produktivitas prodi, dan mutu lulusan. Bahkan juga memungkinkan sebuah perguruan tinggi menyiapkan data-data pendukung yang memuat informasi mengenai lokasi kerja alumni, prestasi prodi, penelitian yang telah dibuat, dan keberlanjutan studi dosen.
Meskipun telah dilaksanakan atas kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh para ahli yang berkredibilitas, proses audit akreditasi prodi dan/atau perguruan tinggi masih sering kali diragukan hasilnya. Hal itu disebabkan oleh terlalu singkatnya proses audit yang lebih banyak dilakukan melalui dialog di ruangan. Kecil kemungkinan dilakukan evaluasi secara mendalam melalui bukti-bukti fisik atau dokumentasi. Hal ini tentunya merupakan contoh kekurang akuratan hasil akreditasi oleh BAN-PT. Dengan demikian, hasil akreditasi belum seluruhnya mencerminkan peta kualitas perguruan tinggi di Indonesia.
Dengan adanya poin sarana dan prasarana sebagai salah satu kriteria penilaian, semestinya para auditor benar-benar meninjau keberadaannya di lapangan, bukan hanya sekedar menilai dari dialog dengan pihak penyelenggara prodi. Selain itu, juga perlu dilakukan dialog dengan mahasiswa untuk memastikan validitas data yang disajikan penyelenggara prodi.
Proses penyelenggaraan audit oleh BAN-PT memang baik dalam tujuan membantu masyarakat memperoleh informasi mengenai kredibilitas perguruan tinggi. Namun, tak jarang dalam pelaksanaan mencapai tujuan tersebut, akreditasi memicu tindakan ketidak jujuran dari pihak yang diaudit yang akhirnya menjadi salah satu batu sandungan dalam memastikan keakuratan hasil akreditasi. Dengan adanya tuntutan kriteria tertentu yang belum terpenuhi, pihak perguruan tinggi terkesan terburu-buru, bahkan “terkesan asal-asalan” dalam usahanya memenuhi kriteria tersebut, misalnya melanggar tahap-tahap prosedur yang semestinya. Kondisi ini tercermin dalam contoh kasus pengadaan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) fiktif untuk alasan kriteria akreditasi yang belakangan ini merebak di kalangan perguruan tinggi tertentu. Hal ini terjadi karena salah satu kriteria yang menjadi bahan penilaian adalah dinamika kehidupan organisasi mahasiswa di bidang non-akademik. Penilaian didasarkan pada ada tidaknya organisasi aktif yang menjalankan program-program bidang non-akademik. Keberadaan organisasi dengan hirarki dan keanggotaan yang tidak riil ini menyebabkan prodi yang bersangkutan memperoleh predikat “akreditasi palsu”.
Salah satu kelemahan lain dari proses penyelenggaraan audit dalam proses akreditasi adalah keberlanjutan dari proses audit tersebut. Selama ini, audit hanya diadakan dalam jangka waktu tetap dan dalam waktu yang singkat. Namun, tidak ada pemantauan berkesinambungan di antara rentang waktu tersebut. Hal ini menyebabkan perguruan tinggi hanya memperbaiki dan mempersiapkan diri saat akan dilaksanakan audit. Sebagai contoh, komunitas kemahasiswaan yang seharusnya berjalan di bawah naungan program studi namun, ternyata tidak memperoleh support baik dalam bentuk bantuan finansial maupun perlindungan dari pihak universitas, seperti Media Sastra di tahun pertama berdirinya. Komunitas ini pernah mengajukan diri untuk bernaung di bawah Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, dan Universitas. Namun, saat itu ketiganya ditolak, yang berarti komunitas ini tidak mendapat bantuan dana dari ketiga tingkat tersebut. Padahal, komunitas inilah yang secara riil mempunyai pengurus dan anggota serta menjalankan program-program kerjanya. Pihak universitas tidak bersedia membawahi komunitas ini dengan alasan bentuknya tidaklah resmi seperti HMPS. Maka, Media Sastra menjalankan kegiatannya tanpa dukungan dan pengakuan dari universitas. Namun, ketika akan dilangsungkan proses audit untuk akreditasi, komunitas tersebut seketika itu juga diajak untuk bernaung di bawah salah satu institusi tersebut.
Dengan kendala-kendala yang disebutkan di atas, dapatkah BAN-PT menjamin keakuratan hasil akreditasi yang dilakukannya? Tercapaikah tujuan mulia menginformasikan kepada masyarakat mengenai kualitas dan kredibilitas perguruan tinggi? Ada baiknya bila dilakukan musyawarah dan revisi mengenai peraturan penyelenggaraan proses akreditasi agar dicapai hasil yang akurat yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam memilih perguruan tinggi yang sesuai. Selain itu, BAN-PT perlu menindaklanjuti hasil akreditasi dengan himbauan dan langkah pembinaan kepada perguruan tinggi yang belum terakreditasi memuaskan untuk dapat mencapai perbaikan dan peningkatan mutu dalam jangka waktu tertentu. Maka, diharapkan akan tercipta keselerasan antara tujuan dan proses pelaksanaan dalam penyelenggaraan akreditasi.
Akreditasi perguruan tinggi adalah penilaian kelayakan program studi dan/atau satuan pendidikan tinggi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan untuk jaminan mutu kepada masyarakat. Pernyataan tersebut merupakan definisi akreditasi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2005. Termuat pula dalam peraturan tersebut bahwa akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang beranggotakan ahli-ahli evaluasi pendidikan, kurikulum pendidikan tinggi, manajemen perguruan tinggi, dan perwakilan unsur masyarakat pendidik yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan. Penilaian akreditasi diarahkan pada tujuan ganda, yaitu menginformasikan kinerja perguruan tinggi kepada masyarakat dan mengemukakan langkah pembinaan yang perlu ditempuh oleh perguruan tinggi dan pemerintah, serta partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, akreditasi perguruan tinggi memang diselenggarakan dengan tujuan yang mulia. Hasil akreditasi perguruan tinggi dapat menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih dan memutuskan untuk bergabung dengan perguruan tinggi yang sesuai. Selama ini hasil akreditasi memang memegang peranan penting dalam kelangsungan perguruan tinggi. Sebagian besar perguruan tinggi dikenal dengan program studi (prodi) andalannya yang terakreditasi dengan hasil yang memuaskan. Prodi-prodi tersebut biasanya dibanjiri ribuan peminat atau calon mahasiswa yang harus bersaing ketat, saling mengungguli yang lain untuk dapat menjadi bagian dari prodi unggulan tersebut. Sementara itu, prodi-prodi yang belum terakreditasi dengan hasil yang baik selalu kelabakan mempertahankan izin penyelenggaraannya dengan jumlah mahasiswa yang sangat minim.
Akreditasi memang salah satu jalan untuk mengetahui kualitas pendidikan sebuah prodi dalam perguruan tinggi. Dengan proses audit yang dilaksanakan oleh BAN-PT, masyarakat dapat menilai kelayakan sebuah perguruan tinggi. Adapun kriteria yang dijadikan dasar penilaian program studi dalam proses audit tersebut terdiri atas beberapa poin di antaranya kesesuaian penyelenggaraan prodi denga peraturan perundang-undangan, sarana dan prasarana, efisiensi penyelenggaraan prodi, produktivitas prodi, dan mutu lulusan. Bahkan juga memungkinkan sebuah perguruan tinggi menyiapkan data-data pendukung yang memuat informasi mengenai lokasi kerja alumni, prestasi prodi, penelitian yang telah dibuat, dan keberlanjutan studi dosen.
Meskipun telah dilaksanakan atas kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh para ahli yang berkredibilitas, proses audit akreditasi prodi dan/atau perguruan tinggi masih sering kali diragukan hasilnya. Hal itu disebabkan oleh terlalu singkatnya proses audit yang lebih banyak dilakukan melalui dialog di ruangan. Kecil kemungkinan dilakukan evaluasi secara mendalam melalui bukti-bukti fisik atau dokumentasi. Hal ini tentunya merupakan contoh kekurang akuratan hasil akreditasi oleh BAN-PT. Dengan demikian, hasil akreditasi belum seluruhnya mencerminkan peta kualitas perguruan tinggi di Indonesia.
Dengan adanya poin sarana dan prasarana sebagai salah satu kriteria penilaian, semestinya para auditor benar-benar meninjau keberadaannya di lapangan, bukan hanya sekedar menilai dari dialog dengan pihak penyelenggara prodi. Selain itu, juga perlu dilakukan dialog dengan mahasiswa untuk memastikan validitas data yang disajikan penyelenggara prodi.
Proses penyelenggaraan audit oleh BAN-PT memang baik dalam tujuan membantu masyarakat memperoleh informasi mengenai kredibilitas perguruan tinggi. Namun, tak jarang dalam pelaksanaan mencapai tujuan tersebut, akreditasi memicu tindakan ketidak jujuran dari pihak yang diaudit yang akhirnya menjadi salah satu batu sandungan dalam memastikan keakuratan hasil akreditasi. Dengan adanya tuntutan kriteria tertentu yang belum terpenuhi, pihak perguruan tinggi terkesan terburu-buru, bahkan “terkesan asal-asalan” dalam usahanya memenuhi kriteria tersebut, misalnya melanggar tahap-tahap prosedur yang semestinya. Kondisi ini tercermin dalam contoh kasus pengadaan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) fiktif untuk alasan kriteria akreditasi yang belakangan ini merebak di kalangan perguruan tinggi tertentu. Hal ini terjadi karena salah satu kriteria yang menjadi bahan penilaian adalah dinamika kehidupan organisasi mahasiswa di bidang non-akademik. Penilaian didasarkan pada ada tidaknya organisasi aktif yang menjalankan program-program bidang non-akademik. Keberadaan organisasi dengan hirarki dan keanggotaan yang tidak riil ini menyebabkan prodi yang bersangkutan memperoleh predikat “akreditasi palsu”.
Salah satu kelemahan lain dari proses penyelenggaraan audit dalam proses akreditasi adalah keberlanjutan dari proses audit tersebut. Selama ini, audit hanya diadakan dalam jangka waktu tetap dan dalam waktu yang singkat. Namun, tidak ada pemantauan berkesinambungan di antara rentang waktu tersebut. Hal ini menyebabkan perguruan tinggi hanya memperbaiki dan mempersiapkan diri saat akan dilaksanakan audit. Sebagai contoh, komunitas kemahasiswaan yang seharusnya berjalan di bawah naungan program studi namun, ternyata tidak memperoleh support baik dalam bentuk bantuan finansial maupun perlindungan dari pihak universitas, seperti Media Sastra di tahun pertama berdirinya. Komunitas ini pernah mengajukan diri untuk bernaung di bawah Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, dan Universitas. Namun, saat itu ketiganya ditolak, yang berarti komunitas ini tidak mendapat bantuan dana dari ketiga tingkat tersebut. Padahal, komunitas inilah yang secara riil mempunyai pengurus dan anggota serta menjalankan program-program kerjanya. Pihak universitas tidak bersedia membawahi komunitas ini dengan alasan bentuknya tidaklah resmi seperti HMPS. Maka, Media Sastra menjalankan kegiatannya tanpa dukungan dan pengakuan dari universitas. Namun, ketika akan dilangsungkan proses audit untuk akreditasi, komunitas tersebut seketika itu juga diajak untuk bernaung di bawah salah satu institusi tersebut.
Dengan kendala-kendala yang disebutkan di atas, dapatkah BAN-PT menjamin keakuratan hasil akreditasi yang dilakukannya? Tercapaikah tujuan mulia menginformasikan kepada masyarakat mengenai kualitas dan kredibilitas perguruan tinggi? Ada baiknya bila dilakukan musyawarah dan revisi mengenai peraturan penyelenggaraan proses akreditasi agar dicapai hasil yang akurat yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam memilih perguruan tinggi yang sesuai. Selain itu, BAN-PT perlu menindaklanjuti hasil akreditasi dengan himbauan dan langkah pembinaan kepada perguruan tinggi yang belum terakreditasi memuaskan untuk dapat mencapai perbaikan dan peningkatan mutu dalam jangka waktu tertentu. Maka, diharapkan akan tercipta keselerasan antara tujuan dan proses pelaksanaan dalam penyelenggaraan akreditasi.
Komentar
Posting Komentar