natas bikin gila saya makin parah :)

Ini kisah lain lagi tentang kegilaan yang tak kunjung sembuh. Saya pikir akan ada perbaikan dalam mental dan kejiwaan selepas lulus SMA dan berpisah dari teman-teman tak waras lainnya. Ternyata, praduga ini tertebas habis oleh kenyataan bahwa saya malah makin menggila seiring dengan bertambahnya waktu yang saya habiskan di masa kuliah saya ini.

Diawali dengan inisiasi yang mempertemukan saya dengan manusia-manusia terkutuk oleh dusun Sembego (sudah pernah dituliskan di catatan sebelumnya), saya menapaki langkah yang makin meragukan akan membawa saya pada kesembuhan jiwa. Dimulainya kegiatan kuliah di sastra pun mengharuskan saya bergabung dengan grup yang minimalis dari segi jumlah anggota namun maksimal dalam hal keedanan. Seumprit mahasiswa yang menyesaki kelompok Tiwul Bantul ini menjadi geng mingsil yang hingga saat ini tak jelas keberadaan otaknya. Berlanjut ke minat saya untuk belajar mengenai jurnalistik, dengan yakinnya saya melenggang mendaftarkan diri ke UKM natas. Saya membayangkan kegiatan yang bermanfaat, mengasah otak, diskusi serius tentang banyak hal, dan liputan berita yang mengasyikkan. Nyatanya…

Acara nonton bareng pertama kali mempertemukan saya dengan beberapa orang yang pada akhirnya banyak mengambil peran dalam kegagalan penyembuhan mental kejiwaan saya. Bisa bayangkan duduk bersama pertama kali dalam kelompok yang beranggotakan Richy, Alex, Dimas Hendro, Bayu Japra, Santo. …………… krik. Kenapa laki-laki semua? Saya terima saja dengan lapang dada. Sepanjang menonton film, ada-ada saja kelakuan mereka, mulai dari membakar daun-daun kering dan rokok untuk mengusir nyamuk hingga yang paling penting dan dilakukan sepanjang waktu, melawak. Haduh…
Dikdas yang digelar memang masih menutupi kepribadian asli UKM ini. Tuntutan menulis sebuah berita pun saya jabani dengan sekuat hati. Namun, pada akhirnya pelantikan mengungkapkan sedikit dari wajah asli natas. Bersama kelompok bunga matahari, saya meliput dan menulis berita maha dahsyat tentang teletong. Aih, aih…dunia…ditambah lagi dengan gelak tawa tak henti dari manusia bernama Alex hanya karena tikus makan palawija (hingga hari ini saya tidak mengerti di mana lucunya).

Momen yang pada akhirnya menguak lebih jauh jati diri natas adalah Musyawarah Besar (Mubes). Saya tidak akan pernah bisa melupakan bagaimana persisnya Tara menggigil, seluruh badannya bergemeletuk hingga akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke ruang sidang. Di tengah kebingungan mencari celah untuk berebaring, Richy muncul seraya membentuk tanda salib di dahi Tara. Saya yang tengah terjaga karena kedinginan hanya melongo tak percaya. Apa-apaan ini? Kelakuan apa ini? Aaakkkkhhh….tapi, di balik kebodohan ini memang masih ada jejak-jejak keseriusan menggelar sidang yang tersirat lewat ‘adu argumen’ soal ‘dan/atau’.

Selepas Mubes, saya pun kerjaannya menyambangi ruang UKM tiap hari. Buat apa? Tidak jelas juga, ya cuma duduk-duduk atau nyanyi-nyanyi atau tidur-tiduran atau…bikin bintang, hahahahaha….. absurd? Jelas dong. Persahabatan nggak jelas ini ternyata membuahkan momen-momen lain yang makin memperparah penyakit kejiwaan akut bin kronis saya. Nongkrong-nongkrong sampai dini hari sambil menunggu Kang Ramto membereskan dagangannya selalu saja jadi kegiatan favorit. Belakangan dibuat lebih bermutu dengan menyelipkan diskusi-diskusi ringan namun bermanfaat untuk menambah pengetahuan. Begadang di rel kereta juga tetap hal yang tidak jelas namun digemari. Pada kesempatan begadang yang pertama, dengan menjijikkannya kami menunggui kereta lewat sambil shooting film seri Meteor Garden 76 (hah?). Begadang kedua tetap untuk shooting, kali ini bintangnya Pepet, dalam acara uji nyali…hah, nggak mutu.

Gara-gara banyaknya kegiatan aneh bin ajaib ini, saya mulai jarang pulang ke kost. Rentetan peristiwa yang diawali dengan keberangkatan saya ke rumah Dimas Gundul bersama Tara dan Veta dalam rangka studi banding ternak ini kemudian dilanjutkan selama berminggu-minggu berikutnya. Mabuk-mabukan pun tak terelakkan. Awalnya saya tidak mau ikut campur dengan mendekan di kamar, tapi tergugah oleh rasa ingin tahu, saya keluar menunggui mereka semua mabuk. Kesempatan emas pun saya dapatkan untuk menampar mereka satu per satu sambil menonton mereka ndagel. Hahaha… Kami pun religius, terbukti dengan digelarnya kunjungan ke pantai Sadranan Wonosari dalam rangka memeriahkan Hari Nyepi. Bahkan kami menyusun kepanitiaan untuk kegiatan ini. Anggota panitia paling fenomenal disambar oleh seksi tumbal (saya tidak mau menyebutkan nama). Tapi ternyata panitia tidak ada gunanya sama sekali. Perjalanan yang dimulai jam 6 sore ini malah membuat kami harus terdampar sejenak di rumah mbahnya Bayu Japra untuk dapat tetap melanjutkannya. Kami terpaksa merampok stok makanan mbahnya Bayu karena tidak ada persiapan apa pun yang kami usung. Jam 11 malam baru kami beranjak lagi melanjutkan perjalanan. Tara dan Tamcong dengan mesranya mengangkut tenda, Richy berkutat dengan besi-besi yang sepadan dengan tulangnya, sementara Bayu Japra sendiri akhirnya memaksa Iren untuk menjejalkan tabung gas 3 kg di dalam tasnya. Kompor dan kayu bakar diusung oleh Mbah Buyut dan Pepet dengan sepeda motor tak berbaut (nah lho!) pulang pergi. Tengah malam, saya nyaris saja terlempar ke jurang. Akh, Al, Veta, Erda, Putri, kalian harus tanggung jawab pada ibu saya kalau saja saya benar-benar kecemplung malam itu. Ya sudahlah…

Setibanya di pantai jam setengah 1 pagi, kami menembus kegelapan seperti orang kurang kerjaan. Apa yang mau diliat di pantai jam segitu? Haduh, begonya… Tara langsung uring-uringan sekejap setelah anak-anak memutuskan untuk tidur di pondokan bambu. Tenda yang dibawanya susah payah (baca: mesra) dengan Tamcong ternyata tak berguna! Sama saja nasibnya dengan kompor dan tabung gas yang diusung dengan keukeuhnya oleh Bayu Japra. Kasihan mereka… Saya pikir setelah makan di rumah mbahnya Bayu, kami akan langsung tidur. Ternyata…jiwa barbar mendobrak keluar. Ikan-ikan langsung dibakar dan digerayangi tanpa ampun. Saya tidak kuat bergabung dengan kegiatan itu, saya prihatin,…(sambil memasang tampang memelas). Kemeriahan pagi disemarakkan dengan tertangkapnya seekor ikan yang sangat bodoh di kail yang ditebar Bayu Japra setelah lama saya dan dirinya berkeliling-keliling melempar kail ajaib tanpa pegangan itu (dasar Bayu aneh!). Richy pun akhirnya menemukan jati dirinya yang begitu multi dalam kunjungan kali ini: lumba-lumba berambut, siluman cumi-cumi, manusia purba, dan anjing pudel. Akh, memang dunia selalu kejam pada Richy…

Tak selesai sampai di situ, tur selanjutnya kami gelar bersamaan dengan misi duka. Ayahnya Dian sudah berhari-hari dirawat di rumah sakit, tapi kami tak juga sempat menjenguk. Ketika tiba kabar duka mengenai kepergiannya, kami langsung memutuskan untuk menyambangi rumah Dian di Sragen. Keputusan itu diambil jam 6 sore. Ke SRAGEN sodara-sodara! Kali ini saya menumpang di sepeda motor ‘pakde hangat’ (hahahahahahaha). Awal perjalanan sudah diwarnai dengan peristiwa ban bocor. Tapi, namanya juga natas, selama menunggu ban ditambal Tara dkk membuka buku pelajaran untuk mempersiapkan ujian besoknya. Ahay…perjalanan tanpa petunjuk ini terhenti sejenak ketika Pepet dengan santainya bilang, “Aku cuma ngerti jalan sampe sini.”………………………… saya kehilangan kata-kata. Perjalanan baru separuh dan rute selanjutnya tidak dikenali. Terpaksa mbah(k)nya Pepet kami cari ke kost, namun ternyata eh ternyata…yang bersangkutan sedang mejeng di mall. Akh, tak peduli apa pun yang merintangi (kecuali Si Komo yang bikin macet), kami JALAN TERUS (hidup SO7 >.<)! Jam setengah 1 pagi baru kami tiba di rumah Dian. Baru sekejap duduk di tikar, si Japra dengan sok asyik bilang ke saya untuk pulang jam setengah 2 pagi. Apa-apaan itu? Yah, setelah berbincang dengan Dian sambil menenangkan hati Tara yang mangkel karena ban motornya ikut-ikutan pecah, kami memutuskan untuk pulang jam 2 pagi itu. Sepanjang jalan, rasa kantuk menyerang ampun-ampunan. Nyawa dipertaruhkan dalam perjalanan pulang ini. Tapi, jiwa narsisme tak lekang oleh kantuk. Kami berhenti di setiap tempat yang sekiranya bagus untuk berfoto. Ckckck…

Wah, ini benar-benar gila. Saya jadi bingung bagaimana saya akan menyembuhkan mental saya jika setiap hari saja saya berelasi dengan orang-orang yang sama tak warasnya. Tapi, inilah jalanku, aku dipanggil untuk menapakinya (lho, sok religius). Teman-teman…sembuhkan saya!

Komentar

Postingan Populer